Ini adalah kelanjutan dari jalan-jalan saya di Pulau Luzon, Filipina.
Setelah menunaikan solat Subuh saya, sih, memilih meringkuk lagi di kasur. Udara Tagaytay yang mirip kawasan Puncak ini memang menjerat orang untuk berlama-lama bergelung dalam selimut. Lain halnya dengan teman-teman seperjalanan saya, mereka sudah mandi, berhias dan memilih untuk berburu matahari terbit dari balkon.
Jam 8 pagi kami check out dari Green Fortune Hotel lalu menitipkan barang bawaan kami yang berat-berat itu ke pihak resepsionis. Kami dipersilahkan untuk mengambil jatah sarapan kami, tapi karena pilihannya bacon semua, dengan halus kami tolak tawaran tersebut.
Di depan pintu gerbang hotel tersebut kami berdiri menunggu kedatangan jeepney. Hop, kami menumpak jeepney yang paling tidak dipenuhi penumpang menuju Olivares Circle dengan membayar 10 PHP per orang. Ini kali pertama kami menggunakan jeepney.
Pengalaman berangkot ria di Bogor adalah ketika membayar angkot baru dieksekusi saat penumpang turun, kan. Nah, dengan jeepney ini begitu penumpang naik dia langsung mengasurkan ongkosnya secara estafet dari tangan penumpang disebelahnya berurutan hingga sampai ke tangan si supir. Kami yang duduk tepat di belakang supir harus ekstra memperhatikan penumpang yang mana yang harus menerima kembalian ongkos.
Olivarest Circle sudah terlihat di depan mata. “Para, po!” dan kami pun turun dari jeepney.
Di sekeliling Olivarest Circle ada beberapa resto fast food baik yang bercita rasa nasional maupun yang internasional. Kami pun melangkahkan kaki memasuki KFC untuk sarapan.
Setelah menuntaskan sepiring nasi dan sepotong ayam tepung dengan sambal bawaan dari Indonesia (yang harus mulai diirit pemakaiannya) kami meninggalkan ruang sejuk KFC untuk kemudian diserbu para pengemudi tricycle yang menjamin akan mengantarkan kami melihat danau Taal.
Tricycle ini adalah kendaraan serupa becak-motor (bentor) yang terkenal di kota Medan sana. Bedanya, kalau naik bentor, tempat penumpangnya itu sejajar dengan pengemudinya. Kalau naik tricycle, tempat penumpangnya itu sejajar dengan kaki pengemudinya! Idealnya, tricycle ini menampung 2 orang saja. Berhubung kami meresapi betul predikat “cheapy-cheapy tourist” yang dilekatkan oleh penarik tuk-tuk waktu di Phonm Pehn dulu, maka satu tricycle itu kami paksa untuk mengangkut kami berempat. Ariya, Asty dan Dita duduk di kereta penumpang, sementara saya dengan sigap duduk mengangkang di jok belakang.
Kendaraan yang kami sewa PHP 150 untuk satu kali jalan itu akhirnya bergerak menuju danau Taal yang mulus, sepi, berkelok-kelok, dan konstan menurun yang otomatis merupakan fase yang mudah bagi pengemudinya. Nah, sekembalinya pasti pe-er “banget”!
Dari hasil mengintai para travel blogger asal Filipina, Taal Yatch Club adalah tempat penyewaan perahu penyeberangan ke Taal Volcano yang paling sering mereka sebut. Saya punya keinginan untuk menggunakan fasilitas mereka, tapi nasib berkata lain. Saya pasrahkan saja ke mana supir tricycle membawa kami.
Tricycle kami memasuki sebuah rumah berhalaman luas yang dihiasi beberapa gazebo. Kami pun dipersilahkan memasuki salah satunya untuk melepas lelah sesaat. Sejurus kemudian seorang lelaki menghampiri kami sambil mengangsurkan selembar brosur berisi daftar harga paket tur ke Taal Volcano. Setelah Ariya menekuni daftar tersebut, akhirnya diputuskan untuk mengambil paket seharga PHP 3,500 yang terdiri dari seorang pemandu, sebuah perahu dan jaket pelindung. Sementara itu biaya yang tidak di-cover dalam paket adalah biaya sandar perahu (PHP 50/perahu) dan tiket masuk Taal Volcano (PHP 50/orang).
Ketika memasuki daerah resort di sekeliling danau Taal, banyak terlihat alat selancar angin yang sedang ditiriskan. Pantas saja lokasi ini ideal untuk olahraga tersebut karena sungguh anginnya kencang sekali. Perahu yang kami gunakan untuk menyeberang sering kali harus menerobos ombak yang cukup tinggi dibandingkan pengalaman saya berperahu kayu lainnya.
Sesampainya di seberang, pemandu perahu yang sekaligus pemandu tur mengarahkan kami menuju jalur trekking. Beberapa kali kami berpapasan dengan orang-orang yang menyewakan kuda. Dengan halus kami tolak tawaran mereka. Dua diantaranya sempat mengikuti kami hingga beberapa saat, sambil mengutarakan nanti kami capek, lho, kalau jalan. Haha, usaha yang bagus, kawan. Tapi, sekali “cheapy-cheapy tourists” akan tetap demikian! Teguh kami, mah.
Saya, si pemilik jiwa yang sekarang keder dengan kegiatan tanjak-menanjak, bolehlah memberikan kesimpulan: bahwa jalur trekking menuju puncak Taal Volcano itu moderat levelnya (walau saya sering berhentinya). Kesulitan yang umum didapati adalah menaklukkan jalur trekking yang berpasir, berdebu dan berhias kotoran kuda. Jadi sangat-sangat disarankan untuk yang ingin melancong ke sini mempersiapkan masker, kacamata dan topi. Alas kaki pun sebaiknya menggunakan sepatu bukan sandal ala-ala mau main ke mall seperti yang saya pakai.
Kira-kira satu jam waktu yang dibutuhkan untuk sampai puncak yang ditandai dengan deretan warung-warung temporer yang menjual kelapa muda (bako juice). Saya paling awal tiba di situ kalau saja Ariya tidak terdampak mountain sickness. Tapi jika dibandingkan dengan pelancong senior asal Korea Selatan, kalah jauh saya ini. Dengan pakaian khusus trekking dengan warna-warna mencolok mata, para opa dan oma ini semangat sekali menapaki tiap jengkal jalur tanpa terlihat kelelahan.