Manila dan dua perempuan yang kini menjadi ibu.

Ini adalah postingan pamungkas mengenai perjalanan saya di Filipina.

Sengaja bunyi judulnya demikian untuk menunjukkan betapa lamanya saya menyelesaikan seri tulisan ini, sedari dua teman perjalanan saya waktu itu masih perawan ting-ting sampai sudah menjadi ibu dari seorang anak perempuan.

Kepada Ariya dan Dita, selamat atas kelahiran Hufairah Nur Afifah Ardiansyah dan Qeis Rashid. Semoga tumbuh menjadi puteri yang solehah, cerdas dan penuh cinta. Aunty Pagit persembahkan tulisan ini untuk kalian berdua, sayang. Sebagai catatan kenang-kenangan bahwa ibu kalian adalah pejalan yang tangguh (terutama saat Aunty ajak ibu kalian berjalan kaki ke mana-mana), sebelas-duabelas dengan Aunty Asty.

Jadi, Faira dan Qeis, perjalan hari terakhir ibu kalian bersama Aunty Pagit dan Aunty Asty di Manila sebelum terbang kembali ke Indonesia (pada sore harinya) didedikasikan dengan main ke mal. Yakinlah suatu hari nanti kalian berdua akan paham betapa menyenangkannya ngemal, walaupun masih lebih menyenangkan main ke pantai atau gunung, sih.

Pada hari sebelumnya, sebenarnya kami sempat berkunjung ke mal SM City Manila dan Glorietta. Di mal SM City Manila kami menumpang ke toilet sementara di mal Glorietta kami puaskan untuk membeli cinderamata dan polvoron. Kami sempat bertemu dengan turis lain asal Indonesia yang langsung mengajak berbincang-bincang cantik. Kami membahas maskapai yang dipakai sampai faktor cuaca.

Rencana nge-mal adalah pilihan saya. Membaca banyaknya mal yang ada di Manila telah berhasil menggelitik saya untuk mendatangi salah satunya (catatan penting: pada akhirnya kami malah memasuki 5 buah mal, termasuk mal di depan hostel). Saya maunya, sih, berkunjung ke SM Mall of Asia yang terletak di Manila Bay yang sempat digelari mal terbesar di Filipina. Hanya saja kondisi saat itu tidak memungkinkan, malasnya harus kekeretaan lagi. Jadinya saya memilih untuk main ke mal di seputaran Makati saja, yakni mal Greenbelt yang duduk manis di urutan ke-7 mal terbesar.

Manila_2[1]
Menunggu kedatangan jeepney.

Continue reading “Manila dan dua perempuan yang kini menjadi ibu.”

bermain bersama Hadiah Sahabat di Museum Layang-layang Indonesia.

image
Anak-anak dari Yayasan Masjid Jami Nurul Falah dan kakak-kakak pendamping.

Sabtu, 2 April 2016 menjadi saat yang spesial buat saya. Apa pasal? Karena, eh, karena hari itu merupakan hari pertama saya hadir dalam acara Hadiah Sahabat yang sudah saya ketahui gaungnya dari tahun 2009. Sungguh terlalu, ya, saya ini *evilgrin*

Hadiah Sahabat ini adalah sebuah komunitas sukarelawan asyik yang dibentuk oleh orang-orang kece yang suka jalan-jalan bersama. Pada suatu ketika mereka mendapat ilham untuk mempermanenkan kelompok jalan-jalan tadi menjadi kelompok yang juga bergiat dalam kerja-kerja sosial yang mempunyai dampak pada masyarat.

Dari mendengar cerita Lili (oknum yang mengenalkan saya pada Hadiah Sahabat) mengenai kegiatan komunitasnya ini, mereka memfokuskan program kerjanya dalam mengajak anak-anak dari kalangan marjinal untuk bermain. Bermainnya tentu tidak asal bermain. Mereka memastikan ada nilai-nilai edukasi yang dibawa pulang oleh anak-anak tersebut selain rasa bahagia.

Untuk kali ini Hadiah Sahabat mengajak 23 anak dari Yayasan Masjid Jami Nurul Falah bermain layang-layang di Museum Layang-layang Indonesia (MLI). Materi bermainnya komplet. Dimulai dengan 1) mengenal sejarah layang-layang, 2) mewarnai gambar di atas kaos, 3) meninjau koleksi layang-layang MLI dari ukuran yang imut-imut sampai yang besar juga rumit bentuknya, 4) menonton video festival layang-layang di Bali, 5) dilanjutkan dengan membuat layang-layang, 6) dan tentunya menerbangkan layang-layang hasil karya sendiri.

Rangkaian acara di atas tidak mungkin berlangsung dalam waktu yang singkat, dong. Yup, seharian kakak ini (tunjuk diri sendiri) berada di sana. Rasa kantuk yang menyerang di jam-jam kritis ditambah sekujur tubuh menjadi bau matahari tertebus saat:

  • Melihat keriangan anak-anak yang berlari ke sana ke mari ketika berusaha menerbangkan layang-layang mereka.
  • Merasakan antusiasme mereka dalam mengerjakan permainan dan menjawab kuis.
  • Manakala menerima sebungkus nasi padang isi gulai ayam (hmmm, punya bibit panasbung juga ternyata kakak ini).

Lalu, mana foto-fotonya? Kebiasaan, deh, bikin postingan tanpa foto. Hih!

Ada, dong. Tak banyak tapi. Sila cekidot!

image
Setelah mendengar kisah asal-usul layang-layang, anak-anak mulai terlihat santai dalam kegiatan mewarnai gambar di atas kaos ini.
image
Jemuran kaos serupa tapi tak sama.
image
Di bawah layang-layang berbentuk ikan singa mendengarkan cerita tentang layang-layang yang dibuat dari bahan umbi-umbian.
image
Sampai mepet begini agar layang-layang di udara bisa terlihat.
wp-1459697087841.jpeg
Yak, bisa dilepas sekarang layang-layangnya, Kak!
wp-1459697281000.jpeg
Dalam kuis menyusun potongan gambar. Tim yang menang adalah yang melakukannya dengan cepat, tepat dan rapi.
wp-1459697449393.jpeg
Membuat foto kenangan dengan anak paling aktif hari itu.

Ada dua kegiatan lagi yang akan dilaksanakan oleh Hadiah Sahabat di tahun ini. Jika di antara sidang pembaca ada yang tertarik untuk berkontribusi dalam hal apa pun, informasi lebih lanjut dapat merujuk tautan-tautan di bawah ini:

Situs: http://www.hadiahsahabat.org
E-mail: info@hadiahsahabat.org
Facebook: Hadiahsahabat
Twitter: @hadiahsahabat

Saran dari saya sebagai penutup tulisan ini:

Jangan sungkan jadi sukarelawan
Siapa tahu ada hati yang bisa ditambatkan
*maksasupayaberima*

let’s exploring Metro Manila.

Perhatian sebelum melanjutkan membaca: terdapat banyak pemuatan foto.

Saatnya menjelajah Manila City dengan berjalan kaki dan menggunakan kereta layang ringannya.

Screenshot_2015-12-21-17-25-09
Peta yang menunjukkan lokasi kami menginap (Hostel Our Melting Pot di Makati Avenue) dan stasiun terdekat (Stasiun Buendia).

Bersama-sama warga sekitar Makati Avenue yang berangkat kerja, kami berempat juga melenggang kangkung keluar dari hostel Our Melting Pot. Tujuan rekreasi kami hari itu adalah mengunjungi Intramuros, the Walled City.

Menolak berpusing memikirkan harus naik jeepney yang mana menuju stasiun kereta terdekat, kami memutuskan untuk mengandalkan kedua kami kami dan perut yang sudah terisi penuh. Oh ya, sarapan di OMP banyak pilihannya, lho. Tidak perlu malu untuk mencoba semuanya.

Beberapa toko terlihat mulai beroperasi lengkap dengan petugas keamanan bersenjata laras panjangnya. Sambil tetap waspada, mereka mengobral senyum pada orang-orang yang berlalu-lalang di depannya. Setelah beberapa hari di Filipina keberadaan petugas keamanan ini mulai terasa akrab. Walau masih terbersit dalam pikiran: sebegitu tidak amannyakah Filipina ini?. Eh, kilasan pemikiran tersebut belum sampai titik, tiba-tiba di depan mata terjadi kejar-kejaran antara seorang pemulung dengan dua orang satpam. Lumayan make a scene, sih, tapi tidak sampai senjata api meletus.

Yuk, lanjut berjalan lagi.

Jika berdasarkan Google Maps di atas, di bawah 30 menit saja kami berjalan. Tapi karena diselingi dengan foto-foto, sampai stasiunnya lebih dari itu.

Screenshot_2015-12-21-17-27-52
Jarak antara Stasiun Buendia dan Stasiun Pasay/EDSA.

Kali ini kami bersama-sama warga setempat di Stasiun Buendia berdiri berbaris rapi ke belakang untuk antri masuk ke dalam gerbong. Tidak ada yang menyela antrian. Tertib. Di ujung peron bagian depan, berdiri di atas mimbar, terlihat petugas stasiun yang akan meniupkan peluitnya tanda bagi masinis untuk bisa menutup pintu.

Screenshot_2015-12-21-17-30-41
Jarak antara Stasiun Pasay/EDSA dan Stasiun United Nations.

Continue reading “let’s exploring Metro Manila.”

exploring Taal City of The Philippines.

Walau rencana perjalanan kami berubah dengan berhenti di Taal City, keputusan tersebut tidaklah buruk. Taal City adalah satu dari beberapa tempat di Filipina yang menawarkan wisata sejarah kota tua, wisata serupa yang awalnya ingin kami lihat di Lipa City. Konon, jika ingin merasakan betul atmosfer masa kolonial Spanyol saat berkuasa di negara ini beberapa travel blogger setempat merujuk wilayah Vigan di bagian utara Pulau Luzon.

Saya dengan maxi dress selayaknya mau jalan-jalan di pantai (yang tidak kesampaian) keluar dari Casa Cecilia sekitar jam delapan pagi waktu setempat lalu berjalan kaki menuju pom bensin yang terkenal dengan sebutan Flying V. Dari Flying V kami naik jeepney dengan ongkos PHP 8/orang untuk diturunkan di depan Taal Park dengan latar belakang Basilica de San Martin de Tours.

Segelintir warga setempat terlihat menikmati taman yang tak luas namun sangat teduh dan bersih itu. Beberapa orang di antaranya melakukannya sambil foto-foto. Melihat ini, kami pun dengan semangat mengeluarkan alat potret kami. Huruf-huruf besar bercat kuning membentuk kata TAAL adalah subjek utamanya. Klik! Klik!

Dari taman tersebut kami beranjak menuju Basilica de San Martin de Tours. Menapaki tangga hingga sampai di halaman gereja rasanya seperti berada di kota-kota benua Eropa *ngayal*

Konon, gereja ini adalah gereja Katolik terbesar di Asia. Mulai memberikan pelayanan pada tahun 1865 walau belum semua bagian bangunan rampung dikerjakan. Kemudian, adalah Fr. Agapito Aparicio yang menyelesaikan pembangunannya pada tahun 1878. Sayang nya, pada tahun 1942 sebuah gempa bumi merontokkan menara bel yang terletak di sisi kiri bagian depan gereja. Perbaikan gereja lalu dilakukan pada tahun 1953 sebagai persiapan menyambut penobatan Our Lady of Caysasay dan selesai pada tahun 2011 (sumber: Wikipedia, The Free Encyclopedia).

Kami memasuki gereja dari pintu utama lalu berbelok menuju sisi kanan dari bangunan gereja. Kami melihat ruang tengah gereja yang luas dengan langit-langit tinggi yang melengkung di beberapa bagian. Sulit sekali menyembunyikan rasa takjub melihat isi sebuah gereja secara langsung, kami berusaha untuk tidak membuat gaduh.

Beberapa lukisan (sepertinya) yang dicuplik dari Injil menghiasi dinding gereja. Lalu ada tempat lilin yang indah bentuknya. Disusul kemudian dengan sebuah kereta kencana dengan hiasan malaikat ditiap-tiap sudutnya.

Kami menemukan pintu keluar dari sisi samping tersebut yang mengarah pada sebuh kapel kecil dengan kaca patri warna-warni. Selagi asyik melongok kapel kecil tersebut, kami ditawari penjaga gereja untuk naik ke manara bel. Dia mempromosikan pemandangan indah kota kecil ini termasuk pemandangan lautnya. Tapi tidak ada satu pun dari kami yang beranjak menuju menara tersebut.

Keluar dari gereja, hujan yang semula gerimis menjadi semakin deras. Perjalanan berkeliling heritage site ini menjadi agak kurang nyaman. Beruntunglah kami melihat Seven Eleven. Minimarket kali ini tidak mengecewakan, karena kami bisa mengakses wi-fi mereka sambil sarapan.

Dari Seven Eleven tujuan kami adalah langsung berkunjung ke salah satu ancestral house, tapi karena malas bertanya kami berputar-putar sebentar hingga sampai ke pasar Taal. Seru juga melihat pasar ini. Selain dijaga oleh polisi bersenjata, kami menemukan toko-toko yang memajang pakaian pengantin begitu saja di depan kios mereka.

Akhirnya, atas petunjuk seorang penduduk kami diarahkan pada satu rumah bersejarah yakni rumah milik Doña Gliceria Marella de Villavicencio yang terkenal sebagai The Godmother of the Revolutionary Forces. Mengapa ia mendapatkan julukan sedemikian digdayanya? Hal tersebut karena sumbangsihnya pada masa revolusi melawan penjajahan Spanyol maupun Amerika Serikat, tak kurang dari sebuah kapal perang pertama Filipina (SS Bulusan) ia berikan untuk tanah airnya.

Karena rumah ini merupakan cagar budaya, orang-orang yang memasukinya dikenakan tiket masuk sebesar PHP 100. Seorang lelaki muda dengan senyum yang ramah menggantikan posisi seorang ibu yang tidak dapat berbahasa Inggris. Di belakang lelaki muda itulah kami berempat mendengarkan uraian sejarah mengenai rumah beserta isinya yang masih terawat dengan sangat baik.

Tur Casa Villavicencio usai bersamaan dengan dihidangkannya penganan Suman (sejenis ketan kukus dibungkus daun pisang dan rasanya manis) dan roti serupa Poffertjes yang dicelupkan ke dalam secangkir minuman coklat panas.

Dari Casa Villavicencio kami kembali ke hotel lalu melakukan check out. Dari depan pintu gerbang hotel kami mengambil bus tujuan Batangas City lalu berganti bus lagi langsung menuju Manila. Rencana ke Lipa City dibatalkan, karena kami tidak mau sampai di Manila dalam keadaan langit sudah gelap.

no wi-fi, tersasar.

Usai trekking di Taal Volcano, kami kembali dulu ke Green Fortune Hotel untuk mengambil ransel-ransel yang dititipkan untuk selanjutnya kami bertolak menuju Lipa City. Dari pihak hotel diinfokan bahwa tidak ada bus langsung menuju kota tersebut. Kami diharuskan berganti bus di kota Nasugbu atau Batangas.

Haruskah kami mengawali perjalanan selanjutnya dari terminal bus? Ternyata tidak perlu, bus-bus menuju kedua kota tersebut dapat dicegat langsung dari depan hotel. Sound so familiar, hahaha.

Ketika di sisi jalan … ke Nasugbu atau Batangas? Nasugbu? Batangas?

Lalu menepilah sebuah bus bertanda Nasugbu yang kelihatannya tidak begitu penuh. Hop, kami memasukinya dan mengambil tempat duduk lagi-lagi di bagian belakang. Kernet bus menghampiri kami sambil menanyakan tujuan. Setelah tujuan diketahui, kernet tersebut mengeluarkan sebuah alat mirip penggesek kartu kredit/debit. Ketak-ketik beberapa saat, lalu meluncurlah lembaran kertas yang adalah tiket bus kami yang menerakan seberapa jauh kilometer yang akan kami tempuh beserta tarifnya. Canggih betul!

Setelah ongkos dibayar, masing-masing kami beristirahat, terkecuali Ariya yang masih berkutat meredakan sakit kepala dan mual-mualnya.

Tidak jelas berapa jam kami dalam bus. Sesampainya di Nasugbu sepertinya waktu Ashar. Sebelum turun dari bus, saya sudah melihat papan penanda Sevel dan memang ke sanalah saya mengajak teman-teman saya. Pertama untuk mengisi perut, kedua untuk mendapatkan koneksi internet. Malangnya, tanda free wi-fi yang tertempel di pintu masuk Sevel hanya berhenti sebagai tanda semata. Pelayan Sevel tidak ada yang mau memberikan kata kunci bagi keabsahan kami berselancar dalam jaringan mereka. Huh!

Ariya yang masih lemah (kali ini lebih karena menahan kantuk akibat obat yang diminumnya), Asty dan Dita lalu saya ajak masuk-keluar resto Jolibee dan Mang Inasal demi sambungan wi-fi. Hasilnya? Nol. Keinginan saya untuk mengetahui lebih lanjut mengenai daerah ini, apa yang bisa dilakukan, dan fasilitas akomodasi yang tersedia tidak kesampaian. Tanya warga sekitar? Umumnya mereka menghindar dengan alasan tidak paham berbahasa Inggris. Duh, bagaimana ini???

Rupanya kami diturunkan memang di pusat keramaiannya Nasugbu karena di tengah kebingungan itu, kami melihat lagi bus yang sebelumnya menurunkan kami. Ariya meminta saya untuk bertanya pada kernet bus tersebut di mana kami bisa menaiki bus tujuan Batangas. Kernet bus tersebut menunjuk sebuah pohon beringin, di sanalah bus-bus tujuan Batangas City terparkir. Maka koprollah kami ke arah yang ditunjuk itu.

Ketika menunggu bus dipenuhi penumpang, Ariya memutuskan agar kami turun di Taal City saja tak perlu sampai ke Batangas City karena diperkirakan sampai Batangas sudah sangat larut malam. Demikianlah, rencana perjalanan kami berubah tanpa kami ketahui benar apa yang akan kami hadapi kemudian. Karena baik Taal City, Batangas City, dan Lipa City serupa dengan Nasugbu, kami tidak memiliki informasi yang cukup mengenainya. Nekat!

Dari secarik kertas yang lagi-lagi meluncur keluar dari mesin EDC diketahu bahwa jarak dari Nasugbu ke Taal City itu sejauh 53 km. Pada kernet bus kami minta untuk diinfokan jika sudah sampai Taal City.

Lamat-lamat langit mulai menggelap. Penumpang bus naik-turun silih berganti. Saya tidak dapat memejamkan mata, konsentrasi penuh memperhatikan plang-plang toko untuk mengetahui nama-nama daerah yang kami lewati. Sampai suatu ketika bus berhenti lama di sebuh pom bensin. Kernet bus menghampiri kami dan memberitahukan bahwa di sinilah titik untuk menuju Taal City dan kami bisa melanjutkan perjalanan dengan jeepney atau tricycle.

Sedikit kekhawatiran di dada, saya menuruni bus menuju pelataran pom bensin yang sepi. Sesuai saran si kernet bus, kami menyetop sebuah tricycle. Belum berpanjang-panjang kami menjelaskan keinginan kami, pembicaraan dengan pengemudi tricycle berlangsung singkat sekali karena dia tidak mengerti bahasa Inggris. Ya, kami paham sekali. Kami tidak bisa memaksakan bahwa semua orang harus mengerti bahasa Inggris, lha, kemampuan bahasa Inggris saya pun level standar saja.

Kami berempat benar-benar seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Tak tahu jalan pulang ke kandang.

Saya bilang pada teman-teman kalau sepertinya tadi sebelum turun saya lihat sepertinya ada sebuah hotel yang tidak jauh dari pom bensin ini. Maka berjalan kakilah kami menuju arah sebaliknya. Dan ternyata memang benar sebuah hotel, Casa Cesilia namanya. Bangunannya mirip rumah gedong dalam telenovela. Dua harapan saya, moga-moga masih ada kamar dan harganya wajar saja.

Seorang perempuan muda dengan rambut panjang bergelombang menyambut kami dengan ramah. Saya lagi-lagi berseloroh dalam hati, perempuan ini cocoklah menyandang nama Cecilia. Saya tinggalkan dia dengan Ariya. Tak lama kemudian Ariya menghampiri saya, Asty dan Dita untuk mengabarkan bahwa kamar yang tersedia bagi kami sangat wajar harganya. Fyuhhh, akhirnya kami dapat tempat beristirahat.