book review: One Crazy Summer.

Dry your eyes/There’s no need to cry/I’m so sorry but/Bye bye, so long/Mother’s gotta go now/La la la la la la

I’m so sorry to see you cry/Wipe those tears from your eyes/So long, mother’s gotta go now/La la la la la la

It’s been so long since/You’ve been gone away/And maybe when you come back/You’ll be home to stay

But in the mean time while/I’m so lonely and so blue/Why don’t you tell me now/Tell me now, what am I gonna do

I’m so sorry to see you cry/Wipe those tears from your eyes/So long, mother’s gotta go now/La la la la la la

Dry your eyes, bye bye, baby/Dry your eyes, don’t cry, baby…

One Crazy Summer // Rita Williams-Garcia

Seperti yang telah diketahui oleh sidang pembaca semuanya, beberapa waktu yang lalu saya membeli sebuah buku secara online, One Crazy Summer judulnya. Buku itu kini telah tuntas saya baca. Untuk memenuhi target posting-an di bulan Maret ini maka saya mencoba untuk melakukan review atas buku tersebut.

Adapun alasan mengapa saya membelinya, karena saya tertarik dengan segala penghargaan yang diterima oleh buku tersebut. Dari sampul belakangnnya tercatat lebih dari 10 penghargaan literasi yang sudah diterima, salah satunya adalah penghargaan dari Newbery Award.

Eh, ada alasan keduanya, ding. Yakni… buku ini (edisi paperback) sedang turun harga di The Book Depository. Tidak signifikan, sih, turunnya. Tapi dari tiga kandidat buku yang turun harga di daftar keinginan (wish list)-nya TBD (buku lainnya: Girl Under Pressure-nya Jacqueline Wilson dan Lonely Planet: Southeast Asia on a Shoestring) pilihan saya jatuh pada buku dengan sampul bergambar tiga anak African-American yang sepertinya sedang melakukan kegiatan baris-berbaris ini.

Halahhhh, ini preambulenya panjang banget, Git. Yo wesss, capcus…

Setting. Oakland, California, Amerika Serikat tahun 1968 adalah tahun-tahun awal pergerakan Black Panther Party, organisasi warga African-American berasaskan revolusi sosialis. Sementara di Indonesia pada waktu itu diwarnai oleh gerakan anti-komunis, ya.

Pokok bahasan dengan sedikit spoiler. Seorang ayah, Pa, mengirim terbang ketiga anak gadisnya (Delphine, Vonetta dan Fern) dari Brooklyn, New York ke Oakland untuk menghabiskan satu bulan liburan musim panas bersama dengan sang ibu, Cecile, yang meninggalkan mereka ketika mereka masih bayi.

Continue reading “book review: One Crazy Summer.”

sepuluh purnama.

“Tahun baru kita bicara lagi ya. Edo mengundang kita. Kamu jangan lama-lama di sini. Bahaya. Punya ongkos pulang, kan?” ada ketergesaan dalam nada suaranya seraya pandangannya diedarkan ke sekeliling ruangan yang semakin menggelap, entah untuk memastikan apa.

“Lah, lama banget, dong? Kamu kenapa panik begitu, sih? Nggak ada yang tahu aku ke sini, kok.” Aku merasa heran melihat kepanikanmu. Tapi sempat sedikit tersinggung dengan pertanyaanmu, semiskin-miskinnya diriku tentu aku sanggup membiayai hidupku, apalagi ini hanya perihal uang transport. Aku melangkah meninggalkan kamu yang sedang terbengong sendiri.

Kakiku bersiap meninggalkan ruangan itu. Sinar mentari sore yang masuk dari celah pintu membuat bayang-bayang tubuhku  memanjang. Dalam hati aku berharap kamu beranjak dari sofa coklat tua itu dan menahan kepergianku.

Langkah berat namun tak membuatku berhenti menapak. Aku masih berharap kamu mengejarku. Tapi seperti sebelum-sebelumnya, itu hanya menjadi mimpiku semata. Kamu tak mungkin melepaskan egomu untuk berlari dan aku tak mungkin berbalik lagi menatapmu lagi.

Bayangan yang semakin menjulang kini menghilang digantikan gelap malam. Jalan yang remang kini diterangi lampu jalan, aku merenung. Tahun baru itu artinya tahun depan? Sepuluh bulan lagi aku harus menanti? Ah, sanggupkah aku? Pertanyaan demi pertanyaan membuatku melupakan langkah. Aku berhenti di persimpangan.

Kurogoh salah satu saku messenger bag-ku di mana tadi kuletakkan uang yang berhasil kukumpulkan tanpa sepengetahuan orang lain. Kuhitung lagi dengan cermat setiap lembarannya yang kini berada di tanganku. Ongkos untuk pulang.

Pulang adalah jawaban paling realistis yang harus aku terima dan lakukan saat ini.

Rumah? Bisakah tempat tinggal yang menampung aku tidur itu kusebut rumah? Bisakah mereka yang tinggal bersamaku itu kusebut keluarga? Bisakah makanan yang dihidangkan setiap aku lapar itu benar-benar mengenyangkanku? Aku bergelut dengan perasaanku. Aku berharap semua cepat berlalu. Tapi kamu tetap menyuruhku menunggu Tahun Baru hanya untuk sekedar berbicara.

Hatiku perih melihat sorot ketakutan dimatamu tadi. Aku  sebenarnya memahami ketakutan kamu yang seperti itu? Aku tak bisa mengenyahkan pikiranku yang harus bergantung dari keberanian kamu. Kemudian kulanjutkan lagi melangkah menuju halte bus sambil menggenggam uang yang cukup banyak untuk perjalanan pulang ini.

Bus besar berwarna biru muda yang mulai memudar warnanya dengan asap hitam membumbung ke langit itu akan membawaku ke rumah. Sengaja aku memilih transportasi ini karena aku ingin menikmati kebebasan,kebebasanku yang meskipun hanay sedetik.

Di saat jam pulang kantor begini rupanya masih ada bangku kosong yang tersisa untukku. Dengan satu hentakan keras yang dibuat si supir, bis yang kutumpangi pun melaju ke arah selatan.

Mataku terpejam dan ingin melupakan semua pembicaraan bersamamu tadi. Aku hanya berharap rasa yang pernah ada untukmu menguap seperti sifatmu yang pengecut. Tapi tidak bisa,aku tidak bisa menyuruh hatiku untuk membenci kamu. Kurasakan laju bus melambat dan berhenti,berjalan lambat. Aku masih tak membuka mata . Aku tenggelam dalam anganku, beberapa tahun lalu pertemuan kita . Aku melihatmu begitu tertarik memandangku. Aku tidak tersinggung dengan cara kamu memandangku. Aku sempat tergetar hebat melihat senyum menawanmu. Senyum yang bisa aku artikan senyum perkenalan itu. Saat itu aku merasakan getar dan membuatku tersenyum malu. Aku menyadari aku mulai menyukai kamu. Senyummu membuat aku melupakan siapa kamu dan siapa aku sebenarnya.

Kamu menjabat tanganku dan aku merasakan hangat genggamanmu,membuat aku merenggut kecewa saat kau menarik tanganku cepat karena Edo mengingatkan kamu untuk menjaga sikap. Kamu dan Edo, nama sahabatmu, memandangku seolah aku primadona di ruangan itu.

Edo! tersentak aku mengingat nama itu, hanya dia yang mengerti tentang kita. Aku tidak tahu ada apa denganmu kini. Ketakutan yang seharusnya sudah tidak membuatmu seperti itu? Apa sebenarnya yang meliputimu? Aku menahan diri beberapa tahun bertahan mengharapkan senyum dibibirmu tidak pudar.

Dan kedua mata itu yang dulu penuh pemujaan dan menjanjikan perlindungan bagiku atas semua kesulitan hidup yang kutanggung kini seperti menjauh.

Aku berhenti di depan rumah. Lagi aku berfikir apakah ini rumah? Aku berharap kamu membawaku menjauh. Kupandangi rumah mewah yang menjulang indah. Rumah seperti istana, tapi aku seperti terpenjara saja. Aku memandang pantulan wajahku dari cermin kecil. Kusut dan kuyu seperti tak berjiwa.

Kuusapkan bedak dan sedikit lipstik untuk membuatku tampak segar. Aku tak ingin dia tahu aku habis bertemu denganmu. Aku harus memasang senyum palsu untuk mengecohnya. Aku berlatih sebentar. Ah, aku sepertinya layak mendapatkan piala sebagai artis berbakat. Aku melangkah dan membuka pintu. Hati rasanya ingin menjerit. Aku harus memerankan peran ganda lagi.

Aku selalu menghibur hati ini. Tidak lama lagi aku akan pergi. Tahun baru tidak lama,seuluh bulan pasti akan cepat terlewati.

Belum lagi pintu pagar tuntas kudorong, seseorang sudah menumbukkan dirinya padaku. Kedua tangannya berusaha keras dilingkarkan pada pinggangku. Sesungging senyum manis kemudian membingkai wajahnya yang mungil.

Kubalas senyumnya. Ah, cintaku kamu menyambut mama . Kukecup pipi gembilnya yang selalu bersemu merah dan kuelus rambut hitam legamnya yang kini diikat dua. Andai kamu tahu karena dirimulah aku akan berjuang pergi dari sini. Andai kamu tahu penantian panjangku adalah untuk membesakanmu. Aku harus seterus bersabar untuk menunggu waktu.

Di ujung mataku, aku melihat pria yang tersenyum tipis memandangku. Senyum kemenangan. Apakah dia telah menerima laporan dari antek-anteknya tentang pertemuanku. Kamu dan Edo bisakah lebih cepat membebaskan aku dari lelaki penguasa tubuhku ini? Ah, kamu! Ingin menjerit aku melihat senyumnya yang munafik itu.

Kamu membiarkan aku menunggu lagi. Aku hampir menjerit menamparmu tadi. Kalau aku tidak tahu betapa berkuasanya lelaki ini pasti aku akan mengatakan kamu lelaki pengecut.

Aku membalas dengan senyum kaku. Aku tak ingin menyerah berjuang. Cukup lama penantianku, tak akan aku biarkan sia-sia dan menyerah dari kurungan nafsunya. Aku akan membuatnya menyesal telah menjadikan tubuhku ladang uang baginya. Aku akan bertahan dan bertahan untuk berjuang membebaskan diriku.

<<Sebuah catatan kecil>>
Tulisan kolaborasi antara saya dengan Aini a.k.a @baelovesee dalam rangka menyemarakkan kegiatan #AWeekofCollaboration. Saya mengikuti acara ini pun sudah terlambat, dua hari sebelum tanggal kegiatan berakhir saya baru bergabung. Oleh salah satu penggagasnya, @wulanparker, saya dikenalkan dengan Aini *dadah-dadah kepada yang tinggal di Manado sana*

Bisa dikatakan dalam hitungan satu hari tulisannya sudah kelar. Sayangnya, saya ini banyak “mandek”-nya. Sementara Aini lancar jaya menuliskan setiap kalimat yang menjadi bagiannya. Panjang-panjang lagi.

Maka, demikianlah tulisan di atas itu lahir di bawah tema: penantian.

bye, June.

Yang terjadi di bulan Juni ini:

1. Konser #NKOTBSB

Keriaan di bulan Juni ini dimulai dengan hadirnya saya bersama @liliamrina, @EfaAyuDhewe dan @eten19 di konser #NKOTBSB, One Stage One Night.

Keterlibatan kami ini bisa ditarik enam bulan sebelumnya di mana Kak Eten berhasil memesan empat buah tiket kelas festival dalam waktu kurang dari satu menit! Disebut-sebut bahwa penjualan tiket online  ini memegang rekor tercepat saat itu. Entah berapa lembar yang terjual, tapi pihak panitia yang menyiapkan waktu sekitar dua jam untuk masa penjualan harus segera menutup lapak kelas festivalnya dalam waktu tujuh menit!

Mendengar berita tersebut bisa dibayangkan betapa gegap-gempitanya para fans #NKOTBSB dalam menyambut konser ini. Kami juga senang bukan kepalang, karena kami turut serta di dalamnya. Yay!

Dua hari sebelum hari H menjadi tugas saya menukar lembaran konfirmasi pembelian tiket menjadi tiket fisik di kantor RajaKarcis di bilangan Manggarai. Tidak perlu antri lama, tiket asli sudah di tangan. Berkali-kali saya memastikan bahwa lembar tiket tersebut tersimpan rapi di dalam tas. Parno.

Empat lembar tiket kelas festival.

Hari H pun tiba. Kak Eten yang bertugas di daerah Ragunan memutuskan untuk bekerja di Thamrin agar bisa bersama-sama berangkat ke MEIS Ancol.

Kami berangkat sekitar pukul empat sore. Walau berangkat dengan riang-gembira ada sedikit kekhawatiran yang menggelayut di hati, pasalnya jalanan Jakarta pada hari Jumat sore dikenal tidak ramah, kuadrat! Masing-masing dari kami pun mengucapkan harapan yang sama, semoga jalanan tidak macet dan kami masih punya waktu luang untuk makan malam dulu sebelum konser berlangsung.

Puji syukur, Pak Cik-sebutan untuk Proton Exoranya Kak Eten-hanya tersendat saat antri menuju lapangan parkir MEIS. Dan tak dinyana saat antri itulah seorang petugas parkir menyuruh Pak Cik diparkir tidak jauh dari pintu masuk MEIS sehingga kami pun tidak perlu jalan terlalu jauh.

We are Blockheads! Photo: @EfaAyuDhewe.

Setelah menukar tiket dengan gelang-gelang kertas berwarna pink (Lili terpaksa menggunakannya) untuk kelas festival, kami menuju Kopi Tiam Oey untuk mengisi amunisi. Di sini saya dan Kak Eten mengantri untuk mendapatkan meja sementara Lili dan Efa mengantri untuk masuk ke toilet.

Karena menu makanan yang dipesan Efa tidak kunjung tiba sementara pintu gedung segera dibuka, akhirnya Efa memutuskan untuk membeli sandwich. Kami meninggalkan Efa dan mulai memasuki gedung yang ternyata belum rampung 100%. Lantainya belum dipasangi tegel sehingga debu-debu menguar di mana-mana. Bagusnya, pihak panitia mengharuskan para penonton untuk memasuki gedung dalam kelompok-kelompok yang dibariskan seperti pasukan pengibar bendera sehingga tidak berdesak-desakan.

Karena Efa belum terlihat batang-hidungnya, saya menunggunya di depan pintu masuk gedung. Lili dan Kak Eten bertugas mencari spot yang representatif. Mereka berhasil mendapatkan tempat di barisan paling depan! Keren!

Front rows stand! Photo from @eten19.

Menjelang pukul delapan malam, masih sedikit penonton yang hadir. Area-area kosong masih terlihat di sisi kiri, kanan bahkan di kelas dengan nomor duduk. Tapi begitu tirai diangkat lewat sedikit dari jam 20.00, semua penonton menyeruak mendekati bibir panggung. Sudah penuh rupanya gedung ini. Dan dimulailah nostalgia cinta (uhuk!) sepanjang 32 lagu.

Masih terekam dengan baik dalam ingatan bagaimana @jordanknight memamerkan perutnya sambil menari semi-erotis (menurut pandangan mata saya, lho). Aksinya ini membuat saya menahan pandangan dengan kedua belah telapak tangan tapi tetap melihat dia meliuk-liukkan badan lewat celah jari-jemari, ogah rugi. Ini sebuah antitesa jika dibandingkan dengan ribuan penonton perempuan lainnya yang berteriak histeris 😀

We’re waiting for twenty years to see them again.                            Photo: @EfaAyuDhewe.

Kami berempat sepakat, bahwa malam itu kami datang untuk NKOTB.  Bukan bermaksud mengecilkan kehadiran Brian Littrel Cs., tapi dalam masa jaya NKOTB-lah perempuan-perempuan ini terpapar Cinderella Syndrome, berharap Jordan dan Joey di atas kuda putihnya menjemput hati yang putih suci ini menuju matahari tenggelam bersama-sama. Kok, penggambarannya seperti di halaman akhir komik Lucky Luck, ya? Oh, well 😀

2. Lili’s birthday

Lili merayakan ultahnya kali ini dengan membawa kue pisang coklat dengan tulisan ucapan berwarna pink. Sepertinya dia tak sabar untuk segera memotongnya 😀

Tulisannya berwarna pink! 😀

Lili a.k.a Jangtu, wilujeung tepang taun.

Potong kuenya.. potong kuenya… dan saya minta dua potong.

Continue reading “bye, June.”